Kamis, 29 Januari 2009

Doktrin Pembenaran & Pengudusan Menurut Johanes Calvin

I. PENDAHULUAN
Johannes Calvin adalah seorang pemimpin reformasi di Genewa dan sangat unggul di kalangan teologi-teologi reformed. Awalnya, ayahnya mempersiapkannya untuk menjadi seorang imam, karena itu ia dikirim ke Paris untuk mempersiapkan diri untuk masuk fakultas teologi (1523-1528). Tetapi karena terjadi perselisihan antara ayahnya dengan keuskupan Noyon, sehingga Calvin dipindahkan ke Orlean dan sesudah itu ke Bourges untuk belajar hukum. Tetapi pada tahun 1531 ia kembali ke Paris untuk belajar bahasa Yunani, Latin dan Ibrani, serta kesusastraan. Akan tetapi kehidupan religiusnya telah bertumbuh dan berkembang sebelum ia berumur 25 tahun. Pada tahun 1558, ia mengungkapkan pengalaman rohaninya dengan pernyataan: “God by a sudden conversion subdued my heart to teachableness.”[1]
Teologi Calvin berpusat pada kemuliaan Allah (gloria Dei) sebagai tujuan utama dari segala-galanya, baik untuk Allajh maupun untuk manusia. Di dalam hidupnya, ia selalu menghadirkan Allah dalam pengertian pengertian dan perasaannya, yang menerima penyembahan dan pelayanannya, yakni Pencipta segala sesuatu. Allah yang menjadi sumber kebenaran dan kekuatan manusia, Penyelamat dan yang mengilhami pemilihan-Nya terhadap orang-orang pilihan.
Berhubungan dengan penekanan pada kemuliaan Allah, Calvin sangat menekankan kelahiran baru (regeneratio) atau pengudusan (santificatio) yang harus menyertai pembenaran (justificatio) orang berdosa. Menurutnya, manusia yang dibenarkan wajib menampakkan imannya dalam perbuatan-perbuatan yang berkenan kepada Allah, sehingga pengudusan orang percaya bukan merupakan suatu pemberian yang menyertai pembenaran orang percaya, tetapi suatu anugerah khusus dari Allah bagi orang-orang yang juga telah dibenarkan-Nya.
Di dalam tulisan ini, penulis akan membahas “relasi antara pembenaran dan pengudusan orang percaya”. Untuk mencapai tujuan penulisan ini, maka penulis memberikan beberapa pertanyaan penuntun dalam pembahasan tema ini. Pertama, bagaimanakah pandangan Calvin tentang pembenaran dan pengudusan? Kedua, bagaimanakah relasi antara keduanya dalam kehidupan orang percaya? Ketiga, dalam hal apakah pembenaran dan pengudusan itu menjadi nyata dalam kehidupan orang percaya?

II. PENGERTIAN CALVIN TENTANG PEMBENARAN DAN PENGUDUSAN

A. Pengertian Calvin Tentang Pembenaran
Calvin mendefinisikan pembenaran sebagai
suatu penerimaan yang melaluinya Allah menerima kita ke dalam kasih karunia-Nya dan menghargai kita sebagai pribadi yang benar; pembenaran ini terdiri atas penghapusan dosa dan pembenaran di dalam Kristus. Pembenaran orang percaya merupakan tindakan sukarela Allah, yang dengannya Ia bermurah hati untuk mengampuni semua kejahatan kita.[2]

Di dalam Institutes Calvin memahami pembenaran tindakan Allah di dalam Kristus yang membenarkan dan menguduskan orang percaya. Ia menyatakan,
Christ given to us by the kindness of God is apprehended and possessed by faith, by means of which we obtain in particular a twofold benefit: first, being reconciled by the righteousness of Christ, God becomes, instead of a judge, an indulgent Father; and, secondly, being sanctified by his spirit, we aspire to integrity and purity of life.[3]

Di dalam pandangan Calvin, pembenaran dapat menjadi lebih bernilai di dalam hubungannya dengan kemurahan Allah dimulai dari waktu pemanggilan orang-orang percaya sampai kepada kematiannya. Di dalam hal ini, ia menunjuk kepada kebenaran Kristus yang diperhitungkan sebagai kebenaran orang percaya, di mana melaluinya kita dijauhkan dari penderitaan dan penghukuman Allah. Sehingga dengan demikian, kita tidak lagi dipandang sebagai orang yang berdosa, tetapi orang benar karena Kristus.[4]
Dengan demikian pengertian Calvin mengenai pembenaran mengandung dua aspek, yaitu pertama, orang percaya menjadi diperdamaikan oleh pembenaran Kristus, di mana Allah berdiri sebagai, dari seorang hakim, menjadi seorang Bapa yang pemurah. Ia menghapuskan dosa manusia berdosa dan menjadikan mereka benar karena kebenaran Kristus. Selanjutnya, orang percaya menjadi dikuduskan oleh Roh-Nya, sehingga hidupnya dijadikan sempurna dan murni.

B. Pengertian Calvin Tentang Pengudusan
Calvin memandang pengudusan sebagai suatu perubahan yang sungguh-sungguh dalam hidup kita kepada Allah, yang merupakan tindakan mematikan keinginan daging dan manusia lama, dan hidup dalam pimpinan Roh. Pengudusan sama dengan
pengetahuan tentang Allah. Pengetahuan yang tidak hanya bersifat presiensi, tetapi juga predestinasi, yang mana di dalamnya Allah memilih setiap orang sebagai individu menurut kehendak-Nya sendiri.[5]
Pengudusan dalam pandangan Calvin berarti perubahan sikap atau tindakan manusia dari hidup menurut daging dan manusia lamanya kepada pimpinan Roh Kudus. Di dalam pengudusan itu nyata tindakan Allah yang memilih dan menguduskan orang percaya menurut kehendak-Nya sendiri. Atau dengan kata lain, Calvin berbicara tentang kelahiran baru (regeration).
Di dalam Institutes ia menyatakan, “…the object of regeneration is to bring the life of believers into concord and harmony with the righteousness of God, and so confirm the adoption by which they have been received as sons…the image of God is restored in us.”[6]

II. RELASI ANTARA PEMBENARAN DAN PENGUDUSAN
Ketika menafsirkan 1 Kor. 1:30 Calvin, sebagaimana yang dikutip oleh Francois Wendel, menemukan suatu benang merah yang menunjukkan adanya relasi antara pembenaran dan pengudusan orang percaya. Ia menyatakan, “When it is said (1 Cor. 1:30), that Christ is made unto us redemption, wisdom and righteousness, it is also added that he is made our sanctification. From this it follows that Christ justifies us; he sanctifies us.”[7] Wendel juga mengatakan bahwa di dalam pandangan Calvin, pembenaran dan pengudusan merupakan dua anugerah yang memiliki nilai yang sama.[8]
Lebih lanjut, Calvin memandang bahwa baik pengudusan maupun pembenaran merupakan anugerah Allah dalam persekutuan dengan Kristus yang terwujud ketika manusia percaya kepada Kristus. Iman sebagai karya Roh Kudus telah menciptakan hubungan antara manusia dan Kristus yang membuat manusia dibenarkan di hadapan Allah.[9] Bagi Calvin, pembenaran dan pengudusan merupakan akibat langsung dari penyatuan orang-orang percaya ke dalam Kristus. Ketika seorang percaya dipersatukan dengan Kristus melalui iman, maka di satu sisi dan pada saat yang sama, dapat diterima dalam penglihatan Allah (pembenaran) dan dimasukan ke dalam perubahan kehidupan moral (pengudusan).[10]
Calvin memahami bahwa pembenaran orang percaya merupakan anugerah Allah, di mana Kristus mati bagi kita dan membebaskan kita dari kutuk dan penghakiman yang diletakkan di atas kita. Dengan menanggung semua dosa kita yang ditimpakan ke atas-Nya, Ia terangkat ke surga dan duduk di sebelah kanan Bapa, menjadi pengantara bagi kita. Kristus menempatkan diri-Nya di depan kita, melindungi, membenarkan, dan memerdekakan kita.[11]
Di dalam menjelaskan pandangan Calvin tentang pembenaran orang percaya, Wendel mengatakan bahwa “pada waktu kita berbicara mengenai keberadaan kita yang dibenarkan di hadapan Allah, kita menerimanya hanya dalam anugerah-Nya, sehingga kita dijadikan sebagai orang benar. Angerah Allah itu terdiri atas pengampunan dosa dan pembenaran karena kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada kita.”[12] Kebenaran Kristus ditambahkan kepada kita pada saat kita dipersatukan dengan Kristus dan pada saat yang sama menjadi anggota tubuh-Nya. Dan keduanya merupakan satu aspek anugerah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini Calvin menyatakan bahwa pembenaran dari iman adalah kebenaran Kristus, bukan kebenaran kita sendiri, tetapi kita diperhitungkan benar karena kebenaran Kristus ditambahkan kepada kita pada waktu keberdosaan kita ditimpakan kepada-Nya. jadi kita tidak mungkin dibenarkan, kecuali karena kebenaran Kristus dalam iman.[13]
Calvin selalu melihat pembenaran dari sudut pandang karya Allah di dalam Kristus, yang melaluinya manusia dijadikan benar, sehingga tidak ada sedikitpun jasa atau usaha manusia di dalamnya. Secara nyata Calvin melihat pembenaran sebagai tindakan kemurahan Allah, yang dalam Kristus telah memilih dan menetapkan orang-orang pilihan sebelum dunia dijadikan. Ia menyatakan, “We are now righteous in him, no that we satisfy the judgment of God by our works, but because we are considered according to the righteousness of Christ which we have put on by faith, in order that it might be made ours.”[14]
Kita dibenarkan bukan karena perbuatan kita, karena tidak mungkin kita dibenarkan atau dapat dibenarkan oleh perbuatan kita. Tetapi hanya karena Kristuslah kita dijadikan benar. “Kristus di dalam realitas-Nya membenarkan kita tanpa kita dan Ia berdiam, bekerja dan memprakarsai dalam kita sebagai pemberi hidup yang baru bagi kita.”[15]
Calvin mengajarkan bahwa anugerah iman itu selalu bersifat rangkap, yang terdiri atas pembenaran orang berdosa dan pembaharuan hidup yang tampak dalam perbuatan-perbuatan yang berkenan kepada Allah.[16] Ia memandang pembenaran Allah di dalam Kristus sebagai realitas yang menyelamatkan, dan pengudusan sebagai anugerah yang menjadikan manusia berkenan kepada Allah. “When God, after having taken man out of such a pit of perdition, has sanctified him by the grace of adoption, because he has regenerated and reformed him in a new life, he also receives and embrances him as a new creature with the gifts of the Spirit.”[17]
Secara tegas ia menyatakan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kesempurnaan dalam usahanya untuk melakukan kehendak Allah. Di sini dapat dilihat bahwa ajaran tentang pembenaran justru menyadarkan orang percaya bahwa mereka tetap orang berdosa yang masih membutuhkan anugerah Allah. Karena itu dengan melihat kepada anugerah Allah, orang percaya seharusnya mencurahkan segala perhatian kepada pengudusan dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari dosa dan menaat perintah-perintah Allah. Di dalam Calvin’s Commentaries dalam menafsirkan Roma 6:19, ia menyatakan, “I understand the law and the rule of righteous living, the purpose of which is sanctification, so that believers may consecrate themselves in purity to the service of God.”[18]
Melanjuti pernyataan di atas, Calvin menyatakan, “From righteousness we gather the fruit which is bears in this life, viz. sanctification. For the future, we hope for the eternal life.”[19] Ia mengatakan bahwa gambar dan rupa Allah yang kudus dan benar dilahirkan kembali dalam diri kita untuk mempersiapkan kita bagi hidup kekal dan kemuliaan.
Di dalam Institutes Calvin menunjuk kepada penyesalan dan pengampunan dosa, ketika berbicara tentang tindakan Allah yang membenarkan umat-Nya secara cuma-Cuma. Dan pada saat yang sama, Allah juga memperbaharui setiap orang percaya kepada kesucian yang sesungguhnya melalui pengudusan yang dikerjakan oleh Roh-Nya.[20]
Menurut John H. Leith[21], pemikiran Calvin tersebut dapat disimpulkan dalam dua pokok, yaitu pertama, antara pembenaran dan pengudusan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Iman tidak pernah dihubungkan dengan Allah tanpa karunia pengudusan, karena pada akhirnya setiap orang akan dibenarkan dan menyembah Allah dalam hidup yang kudus. Kristus telah membersihkan orang percaya dengan darah-Nya dan telah mendamaikan mereka dengan Allah. Dan Ia juga telah memberikan tempat bagi mereka di dalam Roh-Nya yang membaharui mereka ke dalam hidup yang suci.[22]
Ia menyatakan, “iman tidak memiliki arti pada dirinya sendiri, karena iman mendapatkan nilainya hanya di dalam Yesus Kristus. Kita bisa berkata bahwa iman membenarkan, di mana bukan seperti yang dinyatakan sebagai kebenaran bagi kita dari eksistensinya sendiri, tetapi karena iman sebagai instrumen yang melaluinya kita mendapatkan dengan cuma-cuma kebenaran Kristus.”[23] Dan melalui iman di dalam Kristuslah Allah membenarkan dan menguduskan orang percaya.
Kedua, karunia pembenaran dan pengudusan tidak dapat dikaburkan atau menjadi keliru. Para Bapa gereja di Trent melihat pembenaran dalam dua sisi, yaitu seseorang dibenarkan secara terpisah dari pengampunan dosa dan dari kelahiran baru. Dalam menanggapi pandangan ini Calvin menyatakan bahwa,
hanya ada satu pembenaran yang secara sederhana dan penuh dimasukkan ke dalam penerimaan anugerah Allah yang dinyatakan tanpa usaha manusia, karena manusia dibenarkan hanya dalam Kristus. Hubungan antara pembenaran dan pengudusan selalu dinamis dan vital. Pembenaran memberikan dasar yang sesungguhnya di dalam pertumbuhan hidup orang Kristen. Calvin memandang bahwa hanya kepercayaan (confidence) yang berasal dari pengalaman dibenarkan karena iman saja yang dapat dijadikan sebagai satu-satunya dasar yang memungkinkan bagi pengudusan yang sebenarnya.[24]

Di dalam dirinya sendiri, manusia tidak akan mungkin diselamatkan dan dibenarkan secara moral di hadapan Allah. Hanya di dalam anugerah dan kebenaran Kristuslah maka seseorang diselamatkan dan dibenarkan dihadapan Allah. Sehingga dengan demikian, kehidupannya yang telah dibenarkan itu dapat diperhitungkan sebagai hidup dalam kekudusan Tuhan.
Senada dengan pemikiran di atas, Calvin menyatakan,
The manner of their justification must of necessity be very different from that of their renovation to newness of life. For the latter God commences in his elect, and as long as they live carries on gradually, and sometimes slowly… He justifies them, however, not in a partial manner, but so completely, that they may boldly appear in heaven, as being invested with the purity of Christ.[25]

III. RELEVANSI PEMBENARAN DAN PENGUDUSAN
Di dalam merelevansikan pembenaran dan pengudusan itu di dalam kehidupan seorang percaya, Calvin berangkat dari pernyataan, “kita harus kudus, karena Allah kita kudus” (Im. 19:1; 1 Pet. 1:16).[26] Ada beberapa aspek yang diuraikan Calvin berkaitan dengan pemikiran ini.[27]

A. Hidup dalam Meneladani Kristus
Allah telah mendamaikan kita dengan diri-Nya di dalam Kristus, maka di dalam Kristus pula telah ditentukannya gambar kita yang dikehendaki-Nya, menjadi teladan yang harus diikuti. Di dalam keberadaan kita yang berdosa, Kristus telah menjadi pengantara sehingga kita kembali berkenan kepada Allah dan Kristus menjadi teladan bagi kita supaya wujud-Nya terungkapkan di dalam kehidupan kita.[28]
Di dalam pemikiran hidup meneladani Kristus, Calvin melihatnya dari pemikiran Paulus mengenai “menjadi serupa dengan Kristus” (to the image of Christ). Dalam pemikiran ini, ia melihat bahwa hidup menjadi serupa dengan Kristus menyatakan suatu hidup orang percaya yang didasarkan pada hidup dan teladan nyata dari Kristus, dimana setiap orang percaya “memikul salibnya” dalam mengikut Tuhan.[29]
Kristus telah meninggalkan suatu teladan bagi kita, supaya kita menjadi serupa (imitation) dengan-Nya. Calvin menyatakan bahwa menjadi serupa atau meneladani Kristus di sini bukan dengan melakukan seperti yang Yesus lakukan, melainkan dalam hal kuasa-Nya yang telah Ia berikan kepada kita. Meneladani Kristus lebih dimengerti sebagai tindakan iman kita bahwa melalui kematian dan kebangkitan dengan Kristus kita akan hidup bersama-sama dengan-Nya (Rm. 8:29).[30]

B. Hidup dalam Kekudusan yang Sesungguhnya
Calvin mendasarkan pemikiran ini dengan melihat kepada anugerah Allah yang Kudus yang telah membenarkan dan menguduskan orang percaya. Ia menyatakan,
If the Lord adopts us for his sons on the condition that our life be a representation of Christ, the bond of our adoption, - then, unless we dedicate and devote ourselves to righteousness, we not only, with the utmost perfidy, revolt from our Creator, but also abjure the Savior himself.[31]

Dengan mendasarkan kepada pemikiran di atas, Calvin menyatakan bahwa yang menjadi tujuan akhir dari tindakan seorang percaya bukanlah kesempurnaan dari yang ia lakukan, melainkan kesungguhan di dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Ia mengatakan,
Hendaklah kesempurnaan itu menjadi tujuan yang terbayang di mata kita, agar hanya itulah yang kita usahakan dengan tekun. Hendaklah itu dijadikan garis akhir bagi kita, yang menjadi sasaran dalam kita berupaya dan berlomba… Sebab yang pertama dianjurkan Allah sebagai bagian terpenting pengabdian kepada-Nya ialah ketulusan;… kebulatan hati yang sungguh-sungguh ikhlas, yang tidak kenal tipu dan pura-pura, dan yang lawannya ialah hati yang mendua; seakan-akan dikatakan bahwa hidup lurus mempunyai asas yang bersifat rohani, yaitu bahwa perasaan hati dan batin kita tanpa berpura-pura dibaktikan kepada Allah untuk melakukan kesucian dan kebenaran.[32]

Calvin memandang kehidupan yang telah dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah sebagai kehidupan yang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh, di mana seorang Kristen dituntut untuk sungguh-sungguh hidup dalam ketulusan dalam mengikuti Tuhan.
Di sisi yang lain, Calvin juga sangat menegaskan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kesempurnaan dalam usahanya untuk melakukan kehendak Allah, tetapi ia juga memandang bahwa ajaran tentang pembenaran justru menyadarkan orang percaya bahwa mereka tetap berdosa dan memerlukan anugerah Allah. Dan karena mereka telah dibebaskan dari kekhawatiran mengenai keselamatan, mereka dapat mencurahkan segala perhatian kepada pengudusan dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari dosa dan menaati perintah-perintah Allah.”[33]

C. Memandang Hidup Sebagai Milik Allah
Di dalam bagian ini, Calvin menyoroti kehidupan Kristen yang telah dibenarkan dan dikuduskan dari sisi ketaatan dalam melakukan hukum Allah. Hukum Taurat menjadi
pedoman untuk manusia yang dibenarkan dan dibebaskan dari hukuman Allah, supaya ia dapat mengatur kehidupannya yang baru sesuai dengan kehendak Allah. Hukum Taurat bagi orang yang dibenarkan bukan suatu paksaan tetapi suatu karunia Allah, yang diterima dan ditaati dengan rasa gembira dan terima kasih.[34]
Calvin mengutip dari Roma 12:1 dengan mengatakan, orang-orang percaya wajib mempersembahkan tubuh mereka kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada-Nya. Ia juga memandang bahwa kita bukan kepunyaan kita sendiri (1 Kor. 6:19), melainkan kepunyaan Tuhan. seorang percaya seharusnya memandang dirinya sebagai:
Kita bukan kepunyaan kita sendiri: maka jangan sampai akal atau kehendak kita menguasai rencana dan perbuatan kita. Kita bukan kepunyaan kita sendiri: maka janganlah kita menentukan usaha mencari apa yang berguna menurut daging kita sebagai tujuan kita. Kita bukan kepunyaan kita sendiri: maka hendaknya kita sedapat mungkin melupakan diri kita sendiri dan samua perkara kita. Sebaliknya, kita kepunyaan Allah: maka sebaiknya kita mengabdi kepada Dia dalam kehidupan dan dalam kematian kita. kita kepunyaan Allah: maka sebaiknya Dialah, sebagai satu-satunya tujuan yang benar, yang dituju semua bagian kehidupan kita (Rm. 14:8).[35]

D. Hidup Untuk Melayani Allah.
Di dalam menafsirkan Roma 6:19 Calvin menyatakan bahwa tujuan hidup Kristen yang telah dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah adalah untuk melayani Allah. Ia memandang keberhasilan dan kesejahteraan kita sebagai yang bergantung pada berkat Allah.[36] Sehingga dengan demikian tiap-tiap orang harus memperhatikan panggilan Tuhan dalam setiap perbuatan kita, karena Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing.
Calvin meyakini bahwa setiap orang percaya yang telah dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah dipanggil untuk melakukan perbuatan baik yang datangnya dari Allah juga. Ia menyatakan, “We must look to Paul’s design. He intends to show that we have brought nothing to God, by which He might be obliged to us; he shows that even the good works which we do have come from Him.”[37]
Calvin memandang Allah sebagai pribadi yang memanggil manusia untuk terlibat dalam pekerjaan-Nya. Semua karunia dan bakat merupakan kekuatan kita yang
dipercayakan kepada kita oleh Allah dengan syarat supaya dipergunakan untuk melayani-Nya dan sesama. Kita menjadi penyelenggara akan segala sesuatu yang diberikan Allah kepada kita dan kita wajib memberikan pertanggungan jawab mengenai pengurusannya kepada Allah.

IV. KESIMPULAN
Pembenaran dan pengudusan merupakan karya Allah yang esensial di dalam kehidupan orang percaya. Ketika seseorang dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah, maka seharusnya ia juga menyadari bahwa hidupnya haruslah difokuskan kepada Allah yang menjadi pemilik dari hidupnya. Dengan demikian, bukan lagi berfokus kepada keberadaannya sebagai manusia, melainkan kepada Allah yang telah mengerjakan pekerjaan yang sempurna dalam hidupnya. Sehingga dengan demikian, baik hidup maupun kebenarannya diarahkan untuk melayani dan untuk memuliakan Tuhan. Statement Calvin, Soli Deo Gloria.
[1]J.T. McNeil, “Calvinism, Calvin”, dalam The WestminsterDictionary of Christian Theology, (ed.) Alan Richardson dan John Bowden (Philadelphia: The Westminster Press, 1983), 79.
[2]J. Graham Miller, Calvin’s Wisdom (Edinburgh: The Banner of Truth Trust, 1992), 181.
[3]John Calvin, Institutes of the Christian Religion, vol. 3, (Terj.) Henry Beveridge (Grand Rapids: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1997), 36.
[4]John Calvin, Calvin’s Commentaries, The Epistles of Paul the Apostle to the Romans and the Thessalonians, (Terj.) Russ Mackenzie (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1991),
[5]Miller, Calvin’s Wisdom, 324.
[6]Calvin, Institutes of the Christian Religion, 2.
[7]Francois Wendel, “Justification and Predestination in Calvin” dalam Reading in Calvin’s Theology, (ed.) Donald K. McKim (Grand Rapids: Baker Book House, 1984), 154.
[8]Ibid., 155 dan Karl Barth, The Theology of John Calvin, (Terj.) Geoffrey W. Bromiley (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1995), 276.
[9]Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 56.
[10]Alister E. McGrath, A Life of John Calvin (Cambridge: Basil Blackwell, 1990), 166.
[11]Barth, The Theology of John Calvin, 166.
[12]Wendel, “Justification and Predestination in Calvin”, 155.
[13]Ibid., 156.
[14]Ibid.
[15]Barth, The Theology of John Calvin, 167.
[16]Wendel, “Justification and Predestination in Calvin”, 158.
[17]Ibid.
[18]Calvin, Calvin’s Commentaries, The Epistles of Paul the Apostle to the Romans and the Thessalonians, 134.
[19]Ibid., 136.
[20]Calvin, Institutes of the Christian Religion, 525.
[21]John H. Leith, John Calvin’s Doctrine of the Christian Life (Louisville: Westminster/John Knox Press, 1989), 95-96.
[22]Ibid., 96.
[23]Wendel, “Justification and Predestination in Calvin”, 159.
[24]Ibid., 96-97.
[25]Calvin, Institutes of the Christian Religion, 47-48.
[26]Yohanes Calvin, Institutio Pengajaran Agama Kristen, Terj. Winarsih, J.S. Aritonang, Th. Van den End (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 148.
[27]Ibid., 148-154.
[28]Ibid., 148-149.
[29]Calvin, Calvin’s Commentaries, The Epistles of Paul the Apostle to the Romans and the Thessalonians, 181.
[30]John Calvin, Calvin’s Commentaries, The Epistles of Paul the Apostle to the Hebrews and The First and Second Epistles of St. Peter, (Terj.) William B. Jhonston (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1989), 275-276.
[31]Calvin, Institutes of the Christian Religion, 3-4.
[32]Calvin, Institutio Pengajaran Agama Kristen, 149.
[33]Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 57.
[34]Ibid., 58.
[35]Calvin, Institutio Pengajaran Agama Kristen, 151.
[36]Ibid., 153.
[37]John Calvin, Calvin’s Commentaries, The Epistles of Paul the Apostle to the Galatians, ephesians, Philippians, and Colossians, (Terj.) T.H.L. Parker (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1993),146.

2 komentar:

  1. shalom salam kenal,
    bisa minta akun fb nya ?
    Saya sangat tertarik dengan artikel yang saudara terbitkan.
    Pdt. David Simatupang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Shalom, salam kenal juga pak. Maaf saya baru buka kembali blogger ini.. Akun FB sy DAniel Ferry Ag.ustian

      Hapus