Kamis, 05 Februari 2009

PANDANGAN MARTIN LUTHER TENTANG KEHENDAK

Pendahuluan
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Sebagai gambar dan rupa Allah manusia diciptakan menjadi ciptaan yang unik yang memiliki kehendak bebas untuk melakukan apa yang dikehendakinya. Akan tetapi setelah manusia jatuh dalam dosa kehendak bebas itu telah tercemar dan bukan saja tercemar tapi manusia menjadi budak dosa dan hidup dalam dosa.
Dengan melihat kepada natur manusia yang telah dikuasai oleh dosa tersebut, timbul beberapa pertanyaan, Apakah manusia masih memiliki kehendak bebas? Apakah natur kehendak bebas manusia sebelum kejatuhan sama dengan sesudah kejatuhan? Seperti apakah kehendak bebas manusia setelah kejatuhan?
Di dalam tulisan ini kami mencoba menghadirkan pemikiran Luther mengenai kehendak bebas manusia baik sebelum kejatuhan maupun setelah kejatuhan.

Pandangan Luther Tentang Kehendak Bebas Manusia
Pemahaman Luther tentang kehendak bebas manusia tidak bisa kita lepaskan dari pemahamannya tentang dosa dan anugerah. Seseorang yang mengerti masalah dosa dan anugerah secara penuh akan memahami peranan kehendak bebas dalam keselamatannya. Akan tetapi jika ia tidak mengerti akan masalah dosa dan anugerah, maka ia pun akan kurang mengerti masalah kehendak bebas manusia. Luther telah mengalami pergumulan untuk lepas dari dosa, tapi ia merasa tidak mampu. Walaupun ia sudah menjalani hidup sebagai seorang biarawan secara ketat dan menyiksa diri, tapi hati nuraninya tetap menuduhnya sehingga hidupnya tidak tenang.
Dalam membahas masalah kehendak bebas manusia, kita tidak boleh melepaskan pembahasan ini dari perdebatan yang terjadi antara Luther dan Erasmus. Erasmus mengatakan bahwa sebelum kejatuhan, manusia diperlengkapi dengan natural powers (khususnya akal budi dan kehendak bebas) dan supernatural gift of grace. Dan melalui kedua karunia ini, manusia mampu untuk mengenal dan melakukan kebaikan. Di dalam kedua karunia ini manusia diberikan kebebasan untuk memilih antara yang baik dan yang jahat, juga ia dapat memilih untuk mentaati atau tidak mentaati Allah. Akan tetapi pada saat kejatuhan ia memilih untuk tidak mentaati Allah, akibatnya ia kehilangan supernatural gift dan yang tertinggal hanya natural power.[1]
Selanjutnya, Erasmus berpendapat bahwa dosa telah mengurangi atau mengganggu kehendak bebas manusia. Akal budi dan kehendak bebas manusia mungkin telah tercemar, bahkan terkorupsi, tetapi tidak rusak. Kehendak manusia telah teganggu dan tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga manusia selalu melakukan yang hal-hal yang bersifat daging, meskipun tidak sepenuhnya bersifat daging. Ia juga mengatakan bahwa, secara natur manusia masih tetap terdiri atas daging dan roh dengan jiwa yang bergantung di antara keduanya. Karena itu manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tetap mempunyai kapasitas untuk mengenal dan mentaati Allah.[2] Karena itu menyatakan bahwa manusia dengan dirinya sendiri dapat diselamatkan tanpa anugerah khusus, karena manusia tidak mengalami kerusakan yang total, tetapi hanya sebagian saja. Manusia dalam dirnya masih memiliki kemampuan untuk mendapatkan Tuhan dan menerima keselamatan dengan usahanya sendiri. Manusia tetap memiliki peran aktif dalam usaha untuk mendapatkan keselamatan, karena manusia memiliki pilihan bebas.[3]
Sebaliknya, pemahaman Luther tentang kehendak bebas berbeda dengan Erasmus dan tampaknya pemikiran Luther dipengaruhi oleh pandangan Agustinus. Dalam pemahaman Agustinus tentang kehendak bebas tidak bisa dilepaskan dari pemahamannya tentang dosa. Menurutnya, dosa bukanlah sesuatu yang positif, tapi negatif. Dosa berarti berkurangnya kebaikan dan akar dari dosa adalah self-love yang menggantikan kasih kepada Tuhan. Kehendak manusia pada dasarnya bebas dan dosa adalah gerakan dari kehendak bebas itu. Dosa tidak hanya membawa kematian bagi manusia, tetapi juga kehendak untuk melakukan dosa baru. Tidak ada seorangpun yang dengan kemauannya sendiri dapat melepaskan diri dari rentetan kejahatan dosa dan kehendak untuk berbuat dosa. Dari pemikiran ini, Agustinus mengembangkan 3 analogi penting mengenai dosa: dosa sebagai penyakit (disease), sebagai kuasa (power), dan sebagai kesalahan atau pelanggaran (guilt).[4]
Analogi yang pertama membicarakan dosa sebagai penyakit yang turun temurun, analogi kedua membicarakan dosa sebagai kuasa yang menawan manusia. Kebebasan manusia telah ditawan oleh kuasa dosa dan hanya bisa dilepaskan oleh anugerah Allah. analogi ketiga membicarakan dosa sebagai suatu konsep yang bersifat forensik yaitu kesalahan. Menurutnya lagi, sebelum kejatuhan Adam mempunyai 2 kemampuan yakni kemampuan untuk berbuat dosa dan kemampuan untuk tidak berbuat dosa. Tapi setelah kejatuhannya, Adam mempunyai kemampuan untuk berbuat dosa dan ketidakmampuan untuk tidak berbuat dosa. Karena seluruh manusia terwakilkan dalam diri Adam, maka seluruh manusia telah berada di bawah kuasa dosa. Dan kebebasan manusia yang di luar Kristus adalah kebebasan untuk berbuat dosa.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Luther walaupun penjelasannya berbeda dengan Agustinus, tapi inti idenya sama. Luther mengatakan bahwa sebelum kejatuhan, manusia bergantung sepenuhnya pada Tuhan, dan manusia harus meresponinya dengan iman di dalam kesetiaan dan ketaatannya kepada Tuhan. Hubungan ini, menurut Luther adalah hubungan yang alamiah dari manusia sebagai ciptaan Tuhan dengan penciptanya. Dalam keadaan ini, akal manusia dan kehendaknya diterangi dan dipimpin oleh Roh Allah, sehingga ia dapat mengenali Allah sebagai Bapa Sorgawi dan mentaati perintah-perintah-Nya dengan kesetiaannya sebagai anak. Sebagai seorang anak yang taat, manusia tidak memiliki keinginan, hanya ketaatan. Ia selalu melakukan kehendak Allah, karena ia tidak memiliki keinginan di dalam dirinya sendiri yang terlepas dari kehendak Allah. Dan karena Roh Allah adalah Roh kasoh, maka manusia dalam hubungannya dengan Allah, secara bebas dan spontan meresponi kasih ilahi itu.[5]
Sebaliknya, setelah kejatuhan, manusia jatuh ke dalam cengkraman iblis yang mendorongnya untuk mendeklarasikan kemerdekaannya dari Allah. Kemerdekaan yang dalam pengertiannya sendiri bahwa ia telah memerdekakan diri dari Allah, karena ia tidak lagi berfokus kepada kehendak Allah, tetapi kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, manusia dengan kebebasannya lebih memilih iblis daripada Allah. Dengan kejatuhan ini, manusia tidak lagi berdiri sebagai sekutu Roh Allah, tetapi penentang Roh Allah. Manusia telah berbalik dari percaya kepada Allah menjadi tidak percaya, mengubah hubungannya yang benar dan suci dengan Allah menjadi hubungan yang sepenuhnya salah dan rusak. Dan kerusakan ini adalah kerusakan total, bukan setengahnya saja, tetapi baik tubuh, jiwa dan rohnya adalah “daging”.[6]
Sama seperti Erasmus, Luther juga mengakui bahwa kerusakan itu tidak menghilangkan kemampuan manusia untuk mengenal Allah dan hukum-Nya. Tetapi sebaliknya, Luther menyatakan bahwa dosa telah merusak akal budi dan kehendak manusia, sehingga manusia lebih memilih melakukan yang jahat daripada yang baik. Akibatnya, apa yang ia ketahui tentang Allah dan kehendak-Nya direfleksikan manusia dari sudut pandang “kacamata pecahnya”. Kehendak Allah dikesampingkan dan ia bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri, sehingga ia bertindak sewenang-wenang dan kejam. Dan akhirnya manusia terbelenggu dalam dosa dan dikusai oleh roh jahat, sehingga ia tidak dapat melepaskan dirinya sendiri.[7]
Setelah kejatuhan, manusia memang masih memiliki kemampuan untuk menentukan sendiri pilihan bagi hidupnya, tetapi ia tidak dapat menyelamatkan dirinya, bahkan dengan melakukan kebaikan. Luther mengatakan, “good works do not make a good man, for they can be done from a bad motive; and the motivation of fallen man is thoroughly bad.”[8] Bahkan perbuatan baik karena melakukan hukum Tuhan pun tidak akan menyelamatkan manusia, karena manusia berdosa dalam seluruh perbuatannya. Tetapi hanya oleh anugerah dan kasih Allah saja yang dapat membebaskan manusia dari belenggu dosa dan roh jahat. Setelah itu barulah manusia dapat melakukan hukum itu, yakni hukum kasih.
Ketika Luther berbicara tentang kasih dan anugerah Allah yang membebaskan manusia dari dosa, ia tidak memaksudkannya sebagai suatu kebebasan yang tidak bertanggung jawab, tetapi kebebasan dari perbudakan iblis. Hal ini bearti bahwa sebagai manusia yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus, manusia tetap memiliki tanggung jawab kepada Allah.[9] Karena itu yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan sebagai seorang Kristen, kebebasan untuk menaklukkan kuasa iblis dan kebebasan untuk menaklukkan diri di bawah hukum Kristus.
Lebih lajut Luther mengatakan bahwa iman kita kepada Kristus tidak membebaskan kita dari pekerjaan atau perbuatan, tetapi membebaskan kita dari salah paham mengenai pekerjaan, yaitu anggapan yang bodoh bahwa pembenaran diperoleh karena perbuatan yang baik.[10] Ia juga mengatakan,
Orang Kristen adalah bebas sepenuhnyadan tidak menjadi hamba siapapun. Orang Kristen adalah hamba yang setia dari semua orang dan pelayan dari semua orang… Seluruh Alkitab terdiri dari dua bagian; perintah dan janji… Janji Allah memberikan apa yang dituntut oleh perintah Allah dan memenuhi apa yang diharuskan oleh hokum. Jadi segala sesuatu adalah dari Allah, baik perintah-perintah maupun penggenapannya. Hanya Allah memerintahkan, hanya Allah yang menggenapkan janji-Nya… Bukankah kita dinamakan menurut Kristus bukan karena Ia tidak beserta kita, tetapi karena Ia hadir dalam diri kita, yaitu karena kita percaya kepada-Nya. Kita adalah Kristus bagi sesama kita dan berlaku seperti Kristus terhadap sesama kita.[11]

Dengan demikian, Luther melihat kebebasan Kristen sebagai suatu korporasi antara manusia dan Allah. Kerja sama ini bukanlah suatu prekondisi dari keselamatan seperti yang dikatakan oleh Erasmus, melainkan konsekuensi atau akibat dari keselamatan itu sendiri. Karena ia telah diselamatkan, maka ia wajib untuk berbuat baik.

Kesimpulan
Kehendak bebas dapat dimengerti sebagai suatu kemampuan di dalam diri manusia sebagai suatu kontribusi yang aktif terhadap keselamatannya dalam menggenapi karya Allah dalam dirinya. Akan tetapi karena kejatuhannya, manusia tidak dapat memenuhi tugas tersebut. Karena itu Allah menyatakan anugerah-Nya melalui Yesus Kristus agar konsep manusia yang salah tentang pekerjaan, sehingga manusia mampu memandang dirinya sendiri sebagai seorang hamba yang harus senantiasa menaklukkan diri kepada Allah. Seorang hamba yang diciptakan untuk menggenapi maksud dan rencana Allah bagi dunia ini.
[1]E. Gordon Rupp dan Philip S. Watson (ed.), Luther and Erasmus: Free will and Salvation (Philadelphia: The Westminster Press, ), 14.
[2]Ibid., 14-15.
[3]Ibid., 15.
[4]Alister McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford: Blackwell, 1997), 429
[5]Rupp dan Philip S. Watson (ed.), Luther and Erasmus: Free will and Salvation, 15-16.
[6]Ibid., 16.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid., 17-18.
[10]Tony Lane, Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 132.
[11]Ibid., 132-133.